Selasa, 22 Januari 2013

Kisah Nabi Nuh AS


KISAH NABI NUH AS
Berlalulah beberapa tahun dari kematian Nabi Adam. Bunga-bunga berguguran di sekitar
kuburannya dan pohon-pohon dan batu-batuan tampak tidak bergairah. Banyak hal
berubah di muka bumi. Dan sesuai dengan hukum umum, terjadilah kealpaan terhadap
wasiat Nabi Adam. Kesalahan yang dahulu kembali terulang. Kesalahan dalam bentuk
kelupaan, meskipun kali ini terulang secara berbeda.
Sebelum lahirnya kaum Nabi Nuh, telah hidup lima orang saleh dari kakek-kakek kaum
Nabi Nuh. Mereka hidup selama beberapa zaman kemudian mereka mati. Nama-nama
mereka adalah Wadd, Suwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr. Setelah kematian mereka, orangorang
membuat patung-patung dari mereka, dalam rangka menghormati mereka dan
sebagai peringatan terhadap mereka. Kemudian berlalulah waktu, lalu orang-orang yang
memahat patung itu mati. Lalu datanglah anak-anak mereka, kemudian anak-anak itu
mati, dan datanglah cucu-cucu mereka. Kemudian timbullah berbagai dongeng dan
khurafat yang membelenggu akal manusia di mana disebutkan bahwa patung-patung itu
memiliki kekuatan khusus.
Di sinilah iblis memanfaatkan kesempatan, dan ia membisikkan kepada manusia bahwa
berhala-berhala tersebut adalah Tuhan yang dapat mendatangkan manfaat dan menolak
bahaya sehingga akhirnya manusia menyembah berhala-berhala itu. Kami tidak
mengetahui sumber yang terpecaya berkenaan dengan bagaimana bentuk kehidupan
ketika penyembahan terhadap berhala dimulai di bumi, namun kami mengetahui hukum
umum yang tidak pernah berubah ketika manusia mulai cenderung kepada syirik. Dalam
situasi seperti itu, kejahatan akan memenuhi bumi dan akal manusia akan kalah, serta
akan meningkatnya kelaliman dan banyaknya orang-orang yang teraniaya. Yang kaya
semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Alhasil, kehidupan manusia semuanya
akan berubah menjadi neraka Jahim. Situasi demikian ini pasti terjadi ketika manusia
menyembah selain Allah SWT, baik yang disembah itu berhala dari batu, anak sapi dari
emas, penguasa dari manusia, sistem dari berbagai sistem, mazhab dari berbagai mazhab,
atau kuburan seorang wali. Sebab satu-satunya yang menjamin persamaan di antara
manusia adalah, saat mereka hanya menyembah Allah SWT dan saat Dia diakui sebagai
Pencipta mereka dan yang membuat undang-undang bagi mereka. Tetapi saat jaminan ini
hilang lalu ada seorang yang mengklaim, atau ada sistem yang mengklaim memiliki
wewenang ketuhanan maka manusia akan binasa dan akan hilanglah kebebasan mereka
sepenuhnya.
Penyembahan kepada selain Allah SWT bukan hanya sebagai sebuah tragedi yang dapat
menghilangkan kebebasan, namun pengaruh buruknya dapat merembet ke akal manusia
dan dapat mengotorinya. Sebab, Allah SWT menciptakan manusia agar dapat mengenal-
Nya dan menjadikan akalnya sebagai permata yang bertujuan untuk memperoleh ilmu.
Dan ilmu yang paling penting adalah kesadaran bahwa Allah SWT semata sebagai
Pencipta, dan selain-Nya adalah makhluk. Ini adalah poin penting dan dasar pertama
yang harus ada sehingga manusia sukses sebagai khalifah di muka bumi.
Ketika akal manusia kehilangan potensinya dan berpaling ke selain Allah SWT maka
manusia akan tertimpa kesalahan. Terkadang seseorang mengalami kemajuan secara
materi karena ia berhasil melalui jalan-jalan kemajuan, meskipun ia tidak beriman kepada
Allah SWT, namun kemajuan materi ini yang tidak disertai dengan pengenalan kepada
Allah SWT akan menjadi siksa yang lebih keras daripada siksaan apa pun, karena ia pada
akhirnya akan menghancurkan manusia itu sendiri. Ketika manusia menyembah selain
Allah SWT maka akan meningkatlah penderitaan kehidupan dan kefakiran manusia.
Terdapat hubungan kuat antara kehinaan manusia dan kefakiran mereka, serta tidak
berimannya mereka kepada Allah. Allah SWT berfirman:
"Seandainya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. " (QS. al-A'raf: 96)
Demikianlah, bahwa kufur kepada Allah SWT atau syirik kepada-Nya akan
menyebabkan hilangnya kebebasan dan hancurnya akal serta meningkatnya kefakiran,
serta kosongnya kehidupan dari tujuan yang mulia. Dalam situasi seperti ini, Allah SWT
mengutus Nuh untuk membawa ajaran-Nya kepada kaumnya. Nabi Nuh adalah seorang
hamba yang akalnya tidak terpengaruh oleh polusi kolektif, yang menyembah selain
Allah SWT. Allah SWT memilih hamba-Nya Nuh dan mengutusnya di tengah-tengah
kaumnya.
Nuh membuat revolusi pemikiran. Ia berada di puncak kemuliaan dan kecerdasan. Ia
merupakan manusia terbesar di zamannya. Ia bukan seorang raja di tengah-tengah
kaumnya, bukan penguasa mereka, dan bukan juga orang yang paling kaya di antara
mereka. Kita mengetahui bahwa kebesaran tidak selalu berhubungan dengan kerajaan,
kekayaan, dan kekuasaan. Tiga hal tersebut biasanya dimiliki oleh jiwa-jiwa yang hina.
Namun kebesaran terletak pada kebersihan hati, kesucian nurani, dan kemampuan akal
untuk mengubah kehidupan di sekitarnya. Nabi Nuh memiliki semua itu, bahkan lebih
dari itu. Nabi Nuh adalah manusia yang mengingat dengan baik perjanjian Allah SWT
dengan Nabi Adam dan anak-anaknya, ketika Dia menciptakan mereka di alam atom.
Berdasarkan fitrah, ia beriman kepada Allah SWT sebelum pengutusannya pada manusia.
Dan semua nabi beriman kepada Allah SWT sebelum mereka diutus. Di antara mereka
ada yang "mencari" Allah SWT seperti Nabi Ibrahim, ada juga di antara mereka yang
beriman kepada-Nya dari lubuk hati yang paling dalam, seperti Nabi Musa, dan di antara
mereka juga ada yang beribadah kepada-Nya dan menyendiri di gua Hira, seperti Nabi
Muhammad saw.
Terdapat sebab lain berkenaan dengan kebesaran Nabi Nuh. Ketika ia bangun, tidur,
makan, minum, atau mengenakan pakaian, masuk atau keluar, ia selalu bersyukur kepada
Allah SWT dan memuji-Nya, serta mengingat nikmat-Nya dan selalu bersyukur kepada-
Nya. Oleh karena itu, Allah SWT berkata tentang Nuh:
"Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur." (QS. al-Isra': 3)
Allah SWT memilih hamba-Nya yang bersyukur dan mengutusnya sebagai nabi pada
kaumnya. Nabi Nuh keluar menuju kaumnya dan memulai dakwahnya:
"Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.
Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab
hari yang besar. " (QS. al-A'raf: 59)
Dengan kalimat yang singkat tersebut, Nabi Nuh meletakkan hakikat ketuhanan kepada
kaumnya dan hakikat hari kebangkitan. Di sana hanya ada satu Pencipta yang berhak
disembah. Di sana terdapat kematian, kemudian kebangkitan kemudian hari kiamat. Hari
yang besar yang di dalamnya terdapat siksaan yang besar.
Nabi Nuh menjelaskan kepada kaumnya bahwa mustahil terdapat selain Allah Yang
Maha Esa sebagai Pencipta. Ia memberikan pengertian kepada mereka, bahwa setan telah
lama menipu mereka dan telah tiba waktunya untuk menghentikan tipuan ini. Nuh
menyampaikan kepada mereka, bahwa Allah SWT telah memuliakan manusia: Dia telah
menciptakan mereka, memberi mereka rezeki, dan menganugerahi akal kepada mereka.
Manusia mendengarkan dakwahnya dengan penuh kekhusukan. Dakwah Nabi Nuh cukup
mengguncangkan jiwa mereka. Laksana tembok yang akan roboh yang saat itu di situ ada
seorang yang tertidur dan engkau meng-goyang tubuhnya agar ia bangun. Barangkali ia
akan takut dan ia marah meskipun engkau bertujuan untuk menyelamatkannya.
Akar-akar kejahatan yang ada di bumi mendengar dan merasakan ketakutan. Pilar-pilar
kebencian terancam dengan cinta ini yang dibawa oleh Nabi Nuh. Setelah mendengar
dakwah Nabi Nuh, kaumnya terpecah menjadi dua kelompok: Kelompok orang-orang
lemah, orang-orang fakir, dan orang-orang yang menderita, di mana mereka merasa
dilindungi dengan dakwah Nabi Nuh, sedangkan kelompok yang kedua adalah kelompok
orang-orang kaya, orang-orang kuat, dan para penguasa di mana mereka menghadapi
dakwah Nabi Nuh dengan penuh keraguan. Bahkan ketika mereka mempunyai
kesempatan, mereka mulai melancarkan serangan untuk melawan Nabi Nuh. Mula-mula
mereka menuduh bahwa Nabi Nuh adalah manusia biasa seperti mereka:
"Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: 'Kami tidak melihat
kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami.'" (QS. Hud: 27)
Dalam tafsir al-Quturbi disebutkan: "Masyarakat yang menentang dakwahnya adalah
para pembesar dari kaumnya. Mereka dikatakan al-Mala' karena mereka seringkali
berkata. Misalnya mereka berkata kepada Nabi Nuh: "Wahai Nuh, engkau adalah
manusia biasa." Padahal Nabi Nuh juga mengatakan bahwa ia memang manusia biasa.
Allah SWT mengutus seorang rasul dari manusia ke bumi karena bumi dihuni oleh
manusia. Seandainya bumi dihuni oleh para malaikat niscaya Allah SWT mengutus
seorang rasul dari malaikat.
Berlanjutlah peperangan antara orang-orang kafir dan Nabi Nuh. Mula-mula, rezim
penguasa menganggap bahwa dakwah Nabi Nuh akan mati dengan sendirinya, namun
ketika mereka melihat bahwa dakwahnya menarik perhatian orang-orang fakir, orangorang
lemah, dan pekerja-pekerja sederhana, mereka mulai menyerang Nabi Nuh dari sisi
ini. Mereka menyerangnya melalui pengikutnya dan mereka berkata kepadanya: "Tiada
yang mengikutimu selain orang-orang fakir dan orang-orang lemah serta orang-orang
hina."
Allah SWT berfirman:
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata):
'Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar kamu tidak
menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab (pada)
hari yang sangat menyedihkan. Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari
kaumnya: 'Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti
kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikutimu, melainkan orang-orang
yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu
memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah
orang-orang yang berdusta. " (QS. Hud: 25-27)
Demikianlah telah berkecamuk pertarungan antara Nabi Nuh dan para bangsawan dari
kaumnya. Orang-orang yang kafir itu menggunakan dalih persamaan dan mereka berkata
kepada Nabi Nuh: "Dengarkan wahai Nuh, jika engkau ingin kami beriman kepadamu
maka usirlah orang-orang yang beriman kepadamu. Sesungguhnya mereka itu orangorang
yang lemah dan orang-orang yang fakir, sementara kami adalah kaum bangsawan
dan orang-orang kaya di antara mereka. Dan mustahil engkau menggabungkan kami
bersama mereka dalam satu dakwah (majelis)." Nabi Nuh mendengarkan apa yang
dikatakan oleh orang-orang kafir dari kaumnya. la mengetahui bahwa mereka menentang.
Meskipun demikian, ia menjawabnya dengan baik. Ia memberitahukan kepada kaumnya
bahwa ia tidak dapat mengusir orang-orang mukmin, karena mereka bukanlah tamutamunya
namun mereka adalah tamu-tamu Allah SWT. Rahmat bukan terletak dalam
rumahnya di mana masuk di dalamnya orang-orang yang dikehendakinya dan terusir
darinya orang-orang yang dikehendakinya, tetapi rahmat terletak dalam rumah Allah
SWT di mana Dia menerima siapa saja yang dikehendaki-Nya di dalamnya. Allah SWT
berfirman:
"Berkata Nuh: 'Hai kaumku, bagaimana pikiranmu, jika aku mempunyai bukti yang nyata
dari Tuhanku, dan diberinya aku rahmat dari sisi-Nya, tetapi rahmat itu disamarkan
bagimu. Apa akan kami paksakankah kamu menerimanya, padahal kamu tidak
menyukainya? Dan (dia berkata): 'Hai kaumku, aku tidak meminta harta benda kepada
kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali
tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan
bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak
mengetahui.' Dan (dia berkata): 'Hai kaumku, siapakah yang dapat menolongku dari
(azab) Allah jika aku mengusir mereka. Maka tidakkan kamu mengambil pelajaran?' Dan
aku tidak mengatakan kepada kamu (bahwa): 'Aku mempunyai gudang-gudang rezeki
dan kekayaan dari Allah, dan aku tidak mengetahui hal yang gaib, dan tidak pula aku
mengatakan: 'Sesungguhnya aku adalah malaikat,' dan tidak juga aku mengatakan kepada
orang-orang yang dipandang hina oleh penglihatanmu: 'Sekali-kali Allah tidak akan
mendatangkan kebaikan kepada mereka. Allah lebih mengetahui apa yang ada pada
mereka. Sesungguhnya aku kalau begitu benar-benar termasuk orang-orang yang lalim.'"
(QS. Hud: 28-31)
Nuh mematahkan semua argumentasi orang-orang kafir dengan logika para nabi yang
mulia. Yaitu, logika pemikiran yang sunyi dari kesombongan pribadi dan kepentingankepentingan
khusus. Nabi Nuh berkata kepada mereka bahwa Allah SWT telah
memberinya agama, kenabian, dan rahmat. Sedangkan mereka tidak melihat apa yang
diberikan Allah SWT kepadanya. Selanjutnya, ia tidak memaksakan mereka untuk
mempercayai apa yang disampaikannya saat mereka membenci. Kalimat tauhid (tiada
Tuhan selain Allah) tidak dapat dipaksakan atas seseorang. Ia memberitahukan kepada
mereka bahwa ia tidak meminta imbalan dari mereka atas dakwahnya. Ia tidak meminta
harta dari mereka sehingga memberatkan mereka. Sesungguhnya ia hanya mengharapkan
pahala (imbalan) dari Allah SWT. Allahlah yang memberi pahala kepadanya. Nabi Nuh
menerangkan kepada mereka bahwa ia tidak dapat mengusir orang-orang yang beriman
kepada Allah SWT. Meskipun sebagai Nabi, ia memiliki keterbatasan dan keterbatasan
itu adalah tidak diberikannya hak baginya untuk mengusir orang-orang yang beriman
karena dua alasan. Bahwa mereka akan bertemu dengan Alllah SWT dalam keadaan
beriman kepada-Nya, maka bagaimana ia akan mengusir orang yang beriman kepada
Allah SWT, kemudian seandainya ia mengusir mereka, maka mereka akan menentangnya
di hadapan Allah SWT. Ini berakibat pada pemberian pahala dari Allah SWT atas
keimanan mereka dan balasan-Nya atas siapa pun yang mengusir mereka. Maka siapakah
yang dapat menolong Nabi Nuh dari siksa Allah SWT seandainya ia mengusir mereka?
Demikianlah Nabi Nuh menunjukkan bahwa permintaan kaumnya agar ia mengusir
orang-orang mukmin adalah tindakan bodoh dari mereka. Nabi Nuh kembali menyatakan
bahwa ia tidak dapat melakukan sesuatu yang di luar wewenangnya, dan ia memberitahu
mereka akan kerendahannya dan kepatuhannya kepada Allah SWT. Ia tidak dapat
melakukan sesuatu yang merupakan bagian dari kekuasaan Allah SWT, yaitu pemberian
nikmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya. Ia tidak mengetahui ilmu
gaib, karena ilmu gaib hanya khusus dimiliki oleh Allah SWT. Ia juga memberitahukan
kepada mereka bahwa ia bukan seorang raja, yakni kedudukannya bukan seperti
kedudukan para malaikat. Sebagian ulama berargumentasi dari ayat ini bahwa para
malaikat lebih utama dari pada para nabi (silakan melihat tafsir Qurthubi).
Nabi Nuh berkata kepada mereka: "Sesungguhnya orang-orang yang kalian pandang
sebelah mata, dan kalian hina dari orang-orang mukmin yang kalian remehkan itu,
sesungguhnya pahala mereka itu tidak sirna dan tidak berkurang dengan adanya
penghinaan kalian terhadap mereka. Sungguh Allah SWT lebih tahu terhadap apa yang
ada dalam diri mereka. Dialah yang membalas amal mereka. Sungguh aku telah
menganiaya diriku sendiri seandainya aku mengatakan bahwa Allah tidak memberikan
kebaikan kepada mereka."
Kemudian rezim penguasa mulai bosan dengan debat ini yang disampaikan oleh Nabi
Nuh. Allah SWT menceritakan sikap mereka terhadap Nabi Nuh dalam flrman-Nya:
"Mereka berkata: 'Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu
telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab
yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.' Nuh
menjawab: 'Hanyalah Allah yang akan mendatangkan azab itu kepadamu jika Dia
menghendaki, dan kamu sekali-kali tidak dapat melepaskan diri. Dan tidaklah bermanfaat
kepadamu nasihatku jika aku hendak memberi nasihat kepada kamu, sekiranya Allah
hendak menyesatkan kamu. Dia adalah Tuhanmu, dan kepada-Nyalah kamu
dikembalikan. " (QS. Hud: 32-34)
Nabi Nuh menambahkan bahwa mereka tersesat dari jalan Allah SWT. Allahlah yang
menjadi sebab terjadinya segala sesuatu, namun mereka memperoleh kesesatan
disebabkan oleh ikhtiar mereka dan kebebasan mereka serta keinginan mereka. Dahulu
iblis berkata:
"Karena Engkau telah menghukum saya tersesat..." (QS. al-A'raf: 16)
Secara zahir tampak bahwa makna ungkapan itu berarti Allahlah yang menyesatkannya,
padahal hakikatnya adalah bahwa Allah SWT telah memberinya kebebasan dan
kemudian Dia akan meminta pertanggungjawabannya. Kita tidak sependapat dengan
pandangan al-Qadhariyah, al-Mu'tazilah, dan Imamiyah. Mereka berpendapat bahwa
keinginan manusia cukup sebagai kekuatan untuk melakukan perbuatannya, baik berupa
ketaatan maupun kemaksiatan. Karena bagi mereka, manusia adalah pencipta perbuatannya.
Dalam hal itu, ia tidak membutuhkan Tuhannya. Kami tidak mengambil
pendapat mereka secara mutlak. Kami berpendapat bahwa manusia memang menciptakan
perbuatannya namun ia membutuhkan bantuan Tuhannya dalam melakukannya[1].
Alhasil, Allah SWT mengerahkan setiap makhluk sesuai dengan arah penciptaannya, baik
pengarahann itu menuju kebaikan atau keburukan. Ini termasuk kebebasan sepenuhnya.
Manusia memilih dengan kebebasannya kemudian Allah SWT mengerahkan jalan
menuju pilihannya itu. Iblis memilih jalan kesesatan maka Allah SWT mengerahkan jalan
kesesatan itu padanya, sedangkan orang-orang kafir dari kaum Nabi Nuh memilih jalan
yang sama maka Allah pun mengerahkan jalan itu pada mereka.
Peperangan pun berlanjut, dan perdebatan antara orang-orang kafir dan Nabi Nuh
semakin melebar, sehingga ketika argumentasi-argumentasi mereka terpatahkan dan
mereka tidak dapat mengatakan sesuatu yang pantas, mereka mulai keluar dari batasbatas
adab dan berani mengejek Nabi Allah.
"Pemuka-pemuka dari kaumnya berkata: 'Sesungguhnya kami memandang kamu berada
dalam kesesatan yang nyata." (QS. al-A'raf: 60)
Nabi Nuh menjawab dengan menggunakan sopan-santun para nabi yang agung.
"Nuh menjawab: 'Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikit pun tetapi aku adalah
utusan dari Tuhan semesta alam. Aku sampaikan kepadamu amanat-amanat Tuhanku dan
aku memberi nasihat kepadamu, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu
ketahui." (QS. al-A'raf: 61-62)
Nabi Nuh tetap melanjutkan dakwah di tengah-tengah kaumnya, waktu demi waktu, hari
demi hari, dan tahun demi tahun. Berlalulah masa yang panjang itu, namun Nabi Nuh
tetap mengajak kaumnya. Nabi Nuh berdakwah kepada mereka siang malam, dengan
sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, bahkan ia pun memberikan contoh-contoh pada
mereka. Ia menjelaskan kepada mereka tanda-tanda kebesaran Allah SWT dan
kekuasaan-Nya di dunia. Namun setiap kali ia mengajak mereka untuk menyembah Allah
SWT, mereka lari darinya, dan setiap kali ia mengajak mereka agar Allah SWT
mengampuni mereka, mereka meletakkan jari-jari mereka di telinga-telinga mereka dan
mereka menampakkan kesombongan di depan kebenaran. Allah SWT menceritakan apa
yang dialami oleh Nabi Nuh dalam firman-Nya:
"Nuh berkata: 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang,
maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Dan sesungguhnya
setiap kali aku menyeru mereka agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan
anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka
tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan keterlaluan. Kemudian
sesungguhnya aku telah menyeru mereka dengan cara yang terang-terangan, kemudian
aku menyeru mereka lagi dengan terang-terangan dan dengan diam-diam, maka aku
katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu. Sesungguhnya Dia adalah
Maha Pengampun. Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan
membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan
mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.'" (QS. Nuh: 5-12)
Namun apa jawaban kaumnya?
"Nuh berkata: 'Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku, dan telah
mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya
melainkan kerugian belaka. Mereka telah melakukan tipu-daya yang amat besar. Dan
mereka berkata: 'Janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan
kamu dan jangan pula sekali-kali meninggalkan (penyembahan) wadd, suwa, yaghuts,
yauq, dan nasr. Dan sesudahnya mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia); dan
janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang lalim itu selain kesesatan,'" (QS. Nuh: 21-
24)
Nuh tetap melanjutkan dakwah di tengah-tengah kaumnya selama 950 tahun. Allah SWT
berfirman:
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di
antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. " (QS. aPAnkabut: 14)
Sayangnya, jumlah kaum mukmin tidak bertambah sedangkan jumlah kaum kafir justru
bertambah. Nabi Nuh sangat sedih namun ia tidak sampai kehilangan harapan. la
senantiasa mengajak kaumnya dan berdebat dengan mereka. Namun kaumnya selalu
menghadapinya dengan kesombongan, kekufuran, dan penentangan. Nabi Nuh sangat
bersedih terhadap kaumnya namun ia tidak sampai berputus asa. la tetap menjaga harapan
selama 950 tahun. Tampak bahwa usia manusia sebelum datangnya topan cukup panjang.
Dan barangkali usia panjang bagi Nabi Nuh merupakan mukjizat khusus baginya.
Datanglah hari di mana Allah SWT mewahyukan kepada Nabi Nuh bahwa orang-orang
yang beriman dari kaumnya tidak akan bertambah lagi. Allah SWT mewahyukan
kepadanya agar ia tidak bersedih atas tindakan mereka. Maka pada saat itu, Nabi Nuh
berdoa agar orang-orang kafir dihancurkan. la berkata:
"Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu
tinggal di atas bumi." (QS. Nuh: 26)
Nabi Nuh membenarkan doanya dengan alasan:
"Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan
hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat
dan kafir. " (QS. Nuh: 27)
Allah SWT berfirman dalam surah Hud:
"Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwasannya sekali-kali tidak akan beriman di antara
kaummu, kecuali orang-orang yang telah beriman saja, karena itu janganlah kamu
bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan. Dan buatlah bahtera itu dengan
pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku
tentang orang-orang yang lalim itu. Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. (QS.
Hud: 36-37)
Kemudian Allah SWT menetapkan hukum-Nya atas orang-orang kafir, yaitu datangnya
angin topan. Allah SWT memberitahu Nuh, bahwa ia akan membuat perahu ini dengan
"pengawasan Kami dan wahyu kami," yakni dengan ilmu Allah SWT dan pengajaran-
Nya, serta sesuai dengan pengarahan-Nya dan bantuan para malaikat.
Allah SWT menetapkan perintah-Nya kepada Nuh:
"Dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang lalim itu.
Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. (QS. Hud: 37)
Allah SWT menenggelamkan orang-orang yang lalim, apa pun kedudukan mereka dan
apa pun kedekatan mereka dengan Nabi. Allah SWT melarang Nabi-Nya untuk berdialog
dengan mereka atau menengahi urusan mereka. Nabi Nuh mulai menanam pohon untuk
membuat perahu darinya. Ia menunggu beberapa tahun, kemudian ia memotong apa yang
ditanamnya dan mulai merakitnya. Akhirnya, jadilah perahu yang besar, yang tinggi, dan
kuat.
Para mufasir berbeda pendapat tentang besarnya perahu itu, bentuknya, masa
pembuatannya, tempat pembuatannya dan lain-lain. Berkenaan dengan hal tersebut
Fakhrur Razi berkata: "Ketahuilah bahwa pembahasan ini tidak menarik bagiku karena ia
merupakan hal-hal yang tidak perlu diketahuinya. Saya kira mengetahui hal tersebut
hanya mendatangkan manfaat yang sedikit." Mudah-mudahan Allah SWT merahmati
Fakhrur Razi yang menyatakan kebenaran dengan kalimatnya itu. Kita tidak mengetahui
hakikat perahu ini, kecuali apa yang telah Allah SWT ceritakan kepada kita tentang hal
itu. Misalnya, kita tidak mengetahui dimana ia dibuat, berapa panjangnya atau lebarnya,
dan kita secara pasti tidak mengetahui selain tempat yang ditujunya setelah ia berlabuh.
Allah SWT tidak memberikan keterangan secara detail berkenaan dengan hal tersebut
yang tidak memberikan kepentingan pada kandungan cerita dan tujuannya yang penting.
Nabi Nuh mulai membangun perahu, lalu orang-orang kafir lewat di depannya saat ia
dalam keadaan serius membuat perahu. Saat itu, cuaca atau udara sangat kering, dan di
sana tidak terdapat sungai atau laut yang dekat. Bagaimana perahu ini akan berlayar
wahai Nuh? Apakah ia akan berlayar di atas tanah? Di manakah air yang memungkinkan
bagi perahumu untuk belayar? Sungguh Nuh telah gila! Orang-orang kafir semakin
tertawa terbahak-bahak dan semakin mengejek Nabi Nuh.
Puncak pertentangan dalam kisah Nabi Nuh tampak dalam masa ini. Kebatilan mengejek
kebenaran dan cukup lama menertawakan kebenaran. Mereka menganggap bahwa dunia
adalah milik mereka dan bahwa mereka akan selalu mendapatkan keamanan dan bahwa
siksa tidak akan terjadi. Namun anggapan mereka itu tidak terbukti. Datangnya angin
topan menjungkirbalikkan semua perkiraan mereka. Saat itu, orang-orang mukmin
mengejek balik orang-orang kafir dan ejekan mereka adalah kebenaran. Allah SWT
berfirman:
"Dan mulailah Nuh membuat bahtera itu. Dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan
metewati Nuh, mereka mengejeknya. Berkatalah Nuh: 'Jika kamu mengejek kami, maka
sesungguhnya kami (pun) akan mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek kami.
Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa oleh azab yang menghinakan dan
yang akan ditimpa azab yang kekal." (QS. Hud: 38-39)
Selesailah pembuatan perahu dan duduk menunggu perintah Allah SWT. Allah SWT
mewahyukan kepada Nabi Nuh bahwa jika ada yang mempunyai dapur, maka ini sebagai
tanda dimulainya angin topan. Di sebutkan bahwa tafsiran dari at-Tannur ialah oven (alat
untuk memanggang roti) yang ada di dalam rumah Nabi Nuh. Jika keluar darinya air dan
ia lari maka itu merupakan perintah bagi Nabi Nuh untuk bergerak. Maka pada suatu hari
tannur itu mulai menunjukkan tanda-tandanya dari dalam rumah Nabi Nuh, lalu Nabi
Nuh segera membuka perahunya dan mengajak orang-orang mukmin untuk menaikinya.
Jibril turun ke bumi. Nabi Nuh membawa burung, binatang buas, binatang yang
berpasang-pasangan, sapi, gajah, semut, dan lain-lain. Dalam perahu itu, Nabi Nuh telah
membuat kandang binatang buas.
Jibril menggiring setiap dua binatang yang berpasangan agar setiap spesies binatang tidak
punah dari muka bumi. Ini berarti bahwa angin topan telah menenggelamkan bumi
semuanya, kalau tidak demikian maka buat apa ia harus mengangkut jenis binatangbinatang
itu. Binatang-binatang mulai menaiki perahu itu beserta orang-orang yang
beriman dari kaumnya. Jumlah orang-orang mukmin sangat sedikit. Allah SWT
berfirman:
"Hingga apabila perintah Kami datang dan tannur telah memancarkan air, Kami
berfirman: 'Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang
(jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang terdahulu ketetapan terhadapnya
dan (muatkanlah pula) orang-orang yang beriman.' Dan tidak beriman bersama Nuh itu
kecuali sedikit. " (QS. Hud: 40)
Istri Nabi Nuh tidak beriman kepadanya sehingga ia tidak ikut menaiki perahu, dan salah
satu anaknya menyembunyikan kekafirannya dengan menampakkan keimanan di depan
Nabi Nuh, dan ia pun tidak ikut menaikinya. Mayoritas manusia saat itu tidak beriman
sehingga mereka tidak turut berlayar. Hanya orang-orang mukmin yang mengarungi
lautan bersamanya. Ibnu Abbas berkata: "Terdapat delapan puluh orang dari kaum Nabi
Nuh yang beriman kepadanya."
Air mulai meninggi yang keluar dari celah-celah bumi. Tiada satu celah pun di bumi
kecuali keluar air darinya. Sementara dari langit turunlah hujan yang sangat deras yang
belum pernah turun hujan dengan curah seperti itu di bumi, dan tidak akan ada hujan
seperti itu sesudahnya. Lautan semakin bergolak dan ombaknya menerpa apa saja dan
menyapu bumi. Perut bumi bergerak dengan gerakan yang tidak wajar sehingga bola
bumi untuk pertama kalinya tenggelam dalam air sehingga ia menjadi bola air. Allah
SWT berfirman:
"Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. Dan
Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air maka bertemulah air-air itu untuk
satu urusan yang sungguh telah ditetapkan. Dan Kami angkut Nuh ke atas (bahtera) yang
terbuat dari papan dan paku. (QS. al-Qamar: 11-13)
Air meninggi di atas kepala manusia, dan ia melampaui ketinggian pohon, bahkan puncak
gunung. Akhirnya, permukaan bumi diselimuti dengan air. Ketika mula-mula datang
topan, Nabi Nuh memanggil-manggil putranya. Putranya itu berdiri agak jauh darinya.
Nabi Nuh memanggilnya dan berkata:
"Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama
orang-orang yang kafir." (QS. Hud: 42)
Anak itu menjawab ajakan ayahnya:
"Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah." (QS.
Hud: 43)
Nabi Nuh kembali menyerunya:
"Tidak add yang melindungi hari ini dari azab Allah selain orang yang dirahmati-Nya. "
(QS. Hud: 43)
Selesailah dialog antara Nabi Nuh dan anaknya.
"Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk
orang-orang yang ditenggelamkan. " (QS. Hud: 43)
Perhatikanlah ungkapan AI-Qur'an al-Karim: Dan gelombang menjadi penghalang antara
keduanya. Ombak tiba-tiba mengakhiri dialog mereka. Nabi Nuh mencari, namun ia tidak
mendapati anaknya. Ia tidak menemukan selain gunung ombak yang semakin meninggi
dan meninggi bersama perahu itu. Nabi Nuh ddak dapat melihat segala sesuatu selain air.
Allah SWT berkehendaksebagai rahmat dari-Nyauntuk menenggelamkan si anak
jauh dari penglihatan si ayah. Inilah kasih sayang Allah SWT terhadap si ayah. Anak
Nabi Nuh mengira bahwa gunung akan mencegahnya dari kejaran air namun ia pun
terkejar dan tenggelam. Angin topan terus berlanjut dan terus membawa perahu Nabi
Nuh. Setelah berlalu beberapa saat, pemandangan tertuju kepada bumi yang telah musnah
sehingga tiada kehidupan kecuali sebagian kayu yang darinya Nabi Nuh membuat perahu
di mana ia menyelamatkan orang-orang mukmin, begitu juga berbagai binatang yang ikut
bersama mereka. Adalah hal yang sulit bagi kita untuk membayangkan kedahsyatan
topan itu. Yang jelas, ia menunjukkan kekuasaan Pencipta. Perahu itu berlayar dengan
mereka dalam ombak yang laksana gunung. Sebagian ilmuwan meyakini bahwa
terpisahnya beberapa benua dan terbentuknya bumi dalam rupa seperti sekarang adalah
sebagai akibat dari topan yang dahulu.
Topan yang dialami oleh Nabi Nuh terus berlanjut dalam beberapa zaman di mana kita
tidak dapat mengetahui batasnya. Kemudian datanglah perintah Ilahi agar langit
menghentikan hujannya dan agar bumi tetap tenang dan menelan air itu, dan agar kayukayu
perahu berlabuh di al-Judi, yaitu nama suatu tempat di zaman dahulu. Ada yang
mengatakan bahwa ia adalah gunung yang terletak di Irak. Dengan datangnya perintah
Ilahi, bumi kembali menjadi tenang dan air menjadi surut. Topan telah menyucikan bumi
dan membasuhnya. Allah SWT berfirman:
"Dan difirmankan: 'Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,' dan air
pun disurutkan, perintah pun diselesaikan dan bahtera itu pun berlabuh di atas bukitjudi.
Dan dikatakan: 'Binasalah orang-orang yang lalim. " (QS. Hud: 44)
Dan air pun disurutkan, yakni air berkurang dan kembali ke celah-celah bumi. Segala
urusan telah diputuskan dan orang-orang kafir telah hancur sepenuhnya. Dikatakan
bahwa Allah SWT me-mandulkan rahim-rahim wanita selama empat puluh tahun
sebelum datangnya topan, karena itu tidak ada yang terbunuh seorang anak bayi atau
anak kecil.
Firman-Nya: Dan bahtera itu pun berlabuh di atas bukit judi, yakni ia berlabuh di atasnya.
Di sebutkan bahwa hari itu bertepatan dengan hari Asyura' (hari kesepuluh dari bulan
Muharam). Lalu Nabi Nuh berpuasa dan memerintahkan orang-orang yang bersamanya
untuk berpuasa juga.
Dikatakan: 'Binasalah orang-orang yang lalim, 'yakni kehancuran bagi mereka. Topan
menyucikan bumi dari mereka dan membersihkannya. Lenyaplah peristiwa yang
mengerikan dengan lenyapnya topan. Dan berpindahlah pergulatan dari ombak ke jiwa
Nabi Nuh. Ia mengingat anaknya yang tenggelam. Nabi Nuh tidak mengetahui saat itu
bahwa anaknya menjadi kafir. Ia menganggap bahwa anaknya sebagai seorang mukmin
yang memilih untuk menyelamatkan diri dengan cara berlindung kepada gunung. Namun
ombak telah mengakhiri percakapan keduanya sebelum mereka menyelesaikannya. Nabi
Nuh tidak mengetahui seberapa jauh bagian keimanan yang ada pada anaknya. Lalu
bergeraklah naluri kasih sayang dalam hati sang ayah. Allah SWT berfirman:
"Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: 'Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku
termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau
adalah Hakim yang seadil-adilnya. " (QS. Hud: 45)
Nuh ingin berkata kepada Allah SWT bahwa anaknya termasuk dari keluarganya yang
beriman dan Dia menjanjikan untuk menyelamatkan keluarganya yang beriman. Allah
SWT berkata dan menjelaskan kepada Nuh keadaan sebenarnya yang ada pada anaknya:
"Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan
diselamatkan). Sesungguhnya perbuatannya tidak baik. Sebab itu, janganlah kamu
memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikatnya). Aku
memperingatkan kepa-damu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak
berpengetahuan.'" (QS. Hud: 46)
Al-Qurthubi berkatamenukil dari guru-gurunya dari kalangan ulamaini adalah
pendapat yang kami dukung: "Anaknya berada di sisinya (yakni bersama Nabi Nuh dan
dalam dugaannya ia seorang mukmin). Nabi Nuh tidak berkata kepada Tuhannya:
"Sesungguhnya anakku termasuk keluargaku," kecuali karena ia memang menampakkan
hal yang demikian kepadanya. Sebab, mustahil ia meminta kehancuran orang-orang kafir
kemudian ia meminta agar sebagian mereka diselamatkan."
Anaknya menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keimanan. Lalu Allah SWT
memberitahukan kepada Nuh ilmu gaib yang khusus dimiliki-Nya. Yakni Allah SWT
memberitahunya keadaan sebenarnya dari anaknya. Allah SWT ketika menasihatinya
agar jangan sampai ia menjadi orang-orang yang tidak mengerti. Dia ingin
menghilangkan darinya anggapan bahwa anaknya beriman kemudian mati bersama
orang-orang kafir.
Di sana terdapat pelajaran penting yang terkandung dalam ayat-ayat yang mulia itu, yang
menceritakan kisah Nabi Nuh bersama anaknya. Allah SWT ingin berkata kepada Nabi-
Nya yang mulia bahwa anaknya bukan termasuk keluarganya karena ia tidak beriman
kepada Allah SWT. Hubungan darah bukanlah hubungan hakiki di antara manusia. Anak
seorang nabi adalah anaknya yang meyakini akidah, yaitu mengikuti Allah SWT dan
nabi, dan bukan anaknya yang menentangnya, meskipun berasal dari sulbinya. Jika
demikian seorang mukmin harus menghindar dari kekufuran. Dan di sini juga harus di
teguhkan hubungan sesama akidah di antara orang-orang mukmin. Adalah tidak benar
jika hubungan sesama mereka dibangun berdasarkan darah, ras, warna kulit, atau tempat
tinggal.
Nabi Nuh memohon ampun kepada Tuhannya dan bertaubat kepada-Nya. Kemudian
Allah SWT merahmatinya dan memerintahkannya untuk turun dari perahu dalam
keadaan dipenuhi dengan keberkahan dari Allah SWT dan penjagaan-Nya:
"Nuh berkata: 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon
kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakikatnya). Dan sekiranya Engkau
tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh mbelas kasihan kepadaku, niscaya
aku akan termasuk orang-orang yang merugi. " (QS. Hud: 47) "Difirmankan: 'Hai Nuh,
turunlah dengan selamat dan penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat
(yang beriman) dari orang-orang yang bersamamu.'" (QS. Hud: 48)
Nabi Nuh turun dari perahunya dan ia melepaskan burung-burung dan binatang-binatang
buas sehingga mereka menyebar ke bumi. Setelah itu, orangorang mukmin juga tumn.
Nabi Nuh meletakkan dahinya ke atas tanah dan bersujud. Saat itu bumi masih basah
karena pengaruh topan. Nabi Nuh bangkit setelah salatnya dan menggali pondasi untuk
membangun tempat ibadah yang agung bagi Allah SWT. Orang-orang yang selamat
menyalakan api dan duduk-duduk di sekelilinginya. Menyalakan api sebelumnya di
larang di dalam perahu karena dikhawatirkan api akan menyentuh kayu-kayunya dan
membakarnya. Tak seorang pun di antara mereka yang memakan makanan yang hangat
selama masa topan.
Berlalulah hari puasa sebagai tanda syukur kepada Allah SWT. Al-Qur'an tidak lagi
menceritakan kisah Nabi Nuh setelah topan sehingga kita tidak mengetahui bagaimana
peristiwa yang dialami Nabi Nuh bersama kaumnya. Yang kita ketahui atau yang perlu
kita tegaskan bahwa Nabi Nuh mewasiatkan kepada putra-putranya saat ia meninggal
agar mereka hanya menyembah Allah SWT.
[1] Pendapat ini adalah pendapat Imamiyah dan tidak dapat disamakan dengan pendapat kedua
sekte tersebut. (Peng.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar